Schleiermarcher |
tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneuika
Hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengani konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma.
Makna bukan sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkakan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat.
Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi histories, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa secara keseluruhan.
Tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal :
1. Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan linguistic.
2. Penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin pengarang.
Dengan demikian, terdapat makna autentik dari sebuah teks, sebua teks tidak mungkin bertujuan (telos).
Wilhelm Dilthey |
Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, makna tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.
c). Ketiga, Edmund Husserl (1889 -1938), tokoh hermeneutika feno -menologis,
menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri
dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu,
menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua
hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias -bias subjek penafs ir dan
membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
d.Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis,
menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada
mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu me -rupakan
pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua periode sebagai berikut :
1. Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menanyakan tentang “ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya”ada” tetapi tidak begitu saja ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
2. Periode 2 Menjelaskan pengertian”kehre” yang berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli. Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia bukanlah pengauasa atas apa yang ”ada” melainkan sebagai penjaga padanya.
Bahasa bukan sekedar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Bahas pada hakikatnya adalah”bahasa hakikat” artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka. Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal ” sang ada”. Bahasa merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam substansi dan pengaaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang kosong tanpa kehidupan. Pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa.
Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan.
e. Hans-Georg Gadamer (1900 -2002),
tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pema -haman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenar -an dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog. Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika – hermeneutic circle , bagian teks disa dipahami lewat keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian- bagiannya. Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomologi pemahaman.
f. Jurgen Habermas (1929),
tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses pemahaman – understanding the process of understanding.
Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pnegertian teoritis berpadu menjadi satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan. Bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.
g. Paul Ricoeur (1913)
tokoh yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut :
1. Intensi atau maksud pengarang.
2. Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks.
3. Untuk siapa teks dimaksud.
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupub orang lain. Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika ”dunia teks” dan ” dunia interpreter” telah berbaur menjadi satu.
h. Jacques Derrida (1930),
tokoh hermenutika dekonstruksionis,
mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.
Dalam filsafat bahasa – dalam kaitan dengan hermeneutika, membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer. Bahasa menurut kodartnya adalah ”tulis”Objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertenun dalam teks.
http://kritisfrombali.blogspot.com
Artikel Terkait
Posted by 18:28 and have
, Published at