Dra. Husniyatus Salamah Z, M.Ag
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di
dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis
yang begitu berag
am dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat
menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan,
kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan
untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian
dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting
dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya
dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik
juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai
keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan
dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang
ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam
memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Kata Kunci: Pendidikan multikultural, keberagamaan inklusif,
dan materi PAI
PENDAHULUAN
Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari
fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak
di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji
eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda
perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua,
maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun
berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak
merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah
(baik masjid maupun gereja).
Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong
bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini. Namun, realitanya agama justru
menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya
preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang
akan datang. Misalnya, dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat
beragama dan aliran kepercayaan (dialog antar iman), membangun pemahaman
keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang
pluralisme dan toleransi beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).
Pada sisi yang lain, pendidikan agama yang diberikan di
sekolah-sekolah pada umumnya juga tidak menghidupkan pendidikan multikultural
yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial sering kali
diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan
agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik
mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik
sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari
panggilan agamanya.
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di
sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusive, yaitu agama
diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya
agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain
salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun
minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus
mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Berkaitan dengan hal ini, maka
penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk
mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada dalam pendidikan
multikultural.
MEMAHAMI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian
seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang
secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang
peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan
yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik
merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri
dari dua term, yaitu pendidikan dan
multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran,
pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai
keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural
berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas
dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar
luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman
etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana
tentang pendidikan multikultural, secara
sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman
kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas
sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya. Pendidikan multikultural
(multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan
secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata
sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank,
-salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan
konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan
bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as
education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam
rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar
mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi
diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau
mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan
interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi
individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya
mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti
(difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan
terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan
multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama,
pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha
meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu,
pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang
sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh
potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius,
ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan
terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat
seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan
ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan
heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika
berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya
dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman
pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan
sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk
mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian,
upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan
multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi
keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti
ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan
kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui
batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari
pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya
memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan
“pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat
masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap
"indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar
dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan
mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian
menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk
mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan
disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural
diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik,
individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia
senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap
sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak
bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya
terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh
karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan
membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak
didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah,
lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih
untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah
seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global
diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa
mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan
yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat
dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional.
Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif,
establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau
inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan
yang benar-benar komprehensif dan integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya
pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan
terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran
teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut,
menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap
fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang
paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan
bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua
segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis),
moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis
dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan
pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar
kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh.
Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang
akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan,
kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan
multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis
mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada
pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pendidikan
multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah
bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku
dan lainnya.
Pendidikan
multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak
masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan
mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut
masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai
gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya
gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih
mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang
bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah
kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi
masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan
teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan
yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas,
pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
Pendidikan
multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang
diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan
semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan,
yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard
Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah
kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang
terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam
bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan
interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang
dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
Pendidikan multikultural
sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan
muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk
melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis,
dan pluralis di lingkungan mereka.
BAGAIMANA MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF DI SEKOLAH?
Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama
sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta
didik keluar dari eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim,
surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat
keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran
berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan
agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini,
pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana
membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis,
multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif
sosial.
Paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti
menerima pandapat dan pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan
kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya
keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan
keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui pentingnya nilai-nilai
kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang beragama harus dapat
mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain,
peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruih umat
manusia.
Pradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan
cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan
dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk
kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir
kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif
berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya
melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman
keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan
rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun
kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang
nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih
humanis, pluralis, dan kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang ada
dalam agama sepeti kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan
umat manusia dapat ditegakkan. Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian
antar umat bergama dapat terbangun.
Contoh kasus yang berakaitan dengan problematika
keberagamaan di sekolah dan bagaimana peran guru/dosen dalam membangun
pemahaman keberagamaan yang inklusisf pada siswa:
Beberapa bulan setelah kasus pemboman dua buah kafe di kota
A, seorang guru, setelah membaca berita di media massa, bercerita tentang kasus
tersebut di depan murid-muridnya. Dia bercerita bahwa apa yang telah dilakukan
oleh B dan kawan-kawan adalah bagian dari jihad. Dia menambahkan bahwa apa yang
dilakukan B cs, menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut
karena para korban adalah orang kafir yang beragama C yang sedang senang-senang
di sebuah kafe.
Penjelasan guru atau dosen seperti ini, tentunya sangat
menyesatkan bagi peserta didiknya. Guru dalam kisah tersebut, telah menumbuhkan
sikap permusuhan terhadap pemeluk agama C, dan telah melegalkan tindakan
kekerasan terhadap oarang lain (umat beragama lain). Dalam hal ini, seharusnya
guru menjelaskan bahwa tindakan B dan kawan-kawan tidak bisa dibenarkan baik
secara hukum maupun menurut agama. Dia juga harus menjelaskan bahwa semua agama
atau kepercayaan yang ada di bumi ini,
tidak pernah memerintahkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhdap
siapa saja, termasuk pada pemeluk agama lain.
Mencermati gambaran peristiwa tersebut di atas, guru dan
sekolah memegang peranan penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai
kebergamaan yang inkluisf di sekolah. apabila guru mempunyai paradigma
pemahaman keberagamaan yang inkluisf, maka dia juga akan mampu mengajarkan dan
mengimplementasikan niali-nilai keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah.
Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Keberagamaan Inklusif
di Sekolah
Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang
guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun
perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai
kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya
dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang
berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap
peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari
ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat
manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah
sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan
pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran),
misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di NTB tidak perlu
terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen
masyarakat termasuk peserta didik.
Selain guru, sekolah juga memegang peranan penting dalam
membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Langkah-langkah yang
dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun rasa saling pengertian
sejak didi antara siswa-siswa yang mempunyai keyakinan berbeda maka sekolah
harus berperan aktif menggalakkan dialog antariman dengan bimbingan guru-guru
dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya
yang efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang
berbeda; kedua, hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan
multikultural yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan
diterapkan di sekolah.
Pengembangan Materi Pendidikan Agama Islam Berbasis
Multikultural
Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada
beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa
multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat
pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat
yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan
orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran,
inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan
al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Al-Baqarah/2:
148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam
hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60: 8-9); c) materi yang
berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4: 135)
Kedua, materi fiqih, bisa diperluas dengan kajian fikih
siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep
kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat ataupun
khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad
mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan
multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan
masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang menfokuskan kajiannya pada
perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta
lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab,
kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan
akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang
kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar Pendidikan
Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang
sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif,
tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi
keteladanan.
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan
realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang
diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi
historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan
fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.
Agar pemahaman pluralisme dan toleransi dapat tertanam
dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses
pembangunan masyarakat Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah
Hijrah”, dalam hal ini dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu
produk sejarah umat Islam, piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad
berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan
hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap
kelompok minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut Piagam
Madinah sebagai loncatan sejarah yang
luar biasa.
Bila kita cermati, bunyi naskah konstitusi itu sangat
menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun
mengagumkan. Dalam konstitusi itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang
kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak
setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi antar golongan dan lain-lain.
Menurut Nurcholish Madjid, toleransi merupakan persoalan
ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan
adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang
berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat”
dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah
sekunder nilainya, sedangkan yang primer adalah ajaran yang benar itu sendiri.
Sebagai sesuatu yang primer, toleransi harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam
masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu –untuk diri sendiri- pelaksanaan
toleransi secara konsekwen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.
Materi-materi yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang
terjadi di lingkungan sebagai diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal
dalam rangka memberikan pemahaman terhadap keragaman umat manusia dan untuk
memunculkan sikap positif dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang
berbeda. Dalam proses pendidikan, materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan
jenjang pendidikan. Maksudnya, sumber bacaan dan bahasa yang digunakan
disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta didik di masing-masning tingkat
pendidikan. Untuk tingkat pendidikan lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan
fakta-fakta historis dan pesan-pesan al-Qur’an yang lebih konkrit serta
memberikan perbandingan dan perenungan atas realitas yang sedang terjadi di
masyarakat saat ini.
PENUTUP
Pendidikan multikultural kian mendesak untuk di laksanakan
di sekolah. dengan pendidikan multikultural, sekolah menjadi lahan untuk
menghapus prasangka, dan sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa
agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis.
Ada dua hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan
pendidikan multikultural di sekolah, yaitu; pertama, melakukan dialog dengan
menempatkan setiap peradaban dan kebudayaan yang ada pada posisi sejajar.
Kedua, mengembangkan toleransi untuk memberikan kesempatan masing-masing
kebudayaan saling memahami. Toleransi disini tidak hanya pada tataran
konseptual, melainkan juga pada teknik operasionalnya.
Daftar Pustaka
Abd. Rahman, Assegaf,
Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam
dari Praproklamasi ke Reformasi, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.
Achmad, Nur (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan Dalam
Keragaman, Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Asy’arie, Musa, “Pendidikan Multikultural dan Konflik
Bangsa”, Kompas, 3 September 2004, 4-5. Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme
di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005.
Dawam, Ainurrofiq “Emoh” Sekolah Menolak “Komersialisasi
Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural,
Yogyakarta: INSPEAL Press, 2003.
Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj.
Alois A. Nugroho, Jakarta: Gramedia, 1984.
Gorski, Paul, Multicultural Philosophy Series, Part 1: A
Brief History of Multicultural Education, The McGraw-Hill Companies, 2003.
H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002.
Machalli dan Musthofa, Imam, Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Madani dan Investasi
Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, Republika, 10 Agustus 1999, 4-5.
Muhaemin Al-Ma’hady, “ Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural” dalam http://artikel.us/muhaemin 6-04.html, 27 Mei 2004.
Sadir, Darwis, “Piagam Madinah”, Al-Qanun Jurnal Pemikiran
dan Pembaharuan Hukum Islam, Vo. 5, No. 1, Juni 2003, 250-257.
http://ft.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/137-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
Artikel Terkait
Posted by 14:30 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment