Oleh: Ina Salma Febriany
Diriwayatkan dari Al Yafi’i dari Sa’id bin Abi Arubah, bahwasannya ketika Al-Hajjaj bin Yusuf tiba di salah satu tempat sumber air di antara Makkah dan Madinah, ia menyuruh
pengawalnya untuk mencarikan orang yang dapat makan bersamanya. Selain itu, Raja juga akan menanyakannya beberapa soal.
Maka pengawal itu mencari-cari, melihat-lihat ke arah bukit, dan di sana terlihat olehnya seorang Badui yang sedang berselimut, maka dibangunkan dengan kakinya dan
berkata padanya, “Anda dipanggil oleh raja."
Maka Badui tersebut segera bangun dan mengikut. Ketika telah berhadapan dengan Al-Hajjaj, ia pun diperintah, “Cucilah tanganmu dan makan bersamaku.” Jawab Badui,
“Aku telah menerima undangan yang lebih baik dari padamu, dan aku telah menyambutnya."
Al Hajjaj bertanya, “Siapakah itu? Jawab Badui, “Allah ta’alaa, memanggil aku untuk puasa, maka aku kini berpuasa."
Al-Hajjaj bertanya, “Apakah di musim kemarau yang sangat panas ini? Jawabnya, ”Ya, saya berpuasa untuk menghadapi hari yang lebih panas dari ini."
Maka Al-Hajjaj berkata, “Berbukalah hari ini dan esok hari anda puasa."
Dengan bijaksana, Badui menjawab, “Jika anda dapat menjamin bahwa aku akan hidup hingga esok hari, maka aku akan berbuka."
Al-Hajjaj pun tercengang, “Itu di luar kekuasaanku,” jawab raja.
“Jika itu bukan urusan Anda, maka bagaimana anda meminta padaku untuk membatalkan yang pasti dengan sesuatu yang tidak Anda kuasai."
Jawab Al-Hajjaj, “Tapi aku memiliki makanan yang lezat. Jawab Badui, “Kelezatan itu bukanlah buatan tukang masak, tetapi kelezatan itu disebabkan oleh sehat wal’afiat.”
Petikan hikayat di atas mendeskripsikan betapa kuatnya tekad si Badui untuk tetap berpuasa, sekali pun berpuasa sunnah dalam kondisi yang sangat tidak memungkinkan:
cuaca panas menyengat sedangkan orang terhormat mengajaknya duduk bersama untuk menyantap hidangan lezat. Dalam hal ini, tekad yang patut kita contoh ialah ketakutan
Badui kalau-kalau ia tak memiliki kesempatan untuk berpuasa esok hari jika ia membatalkan puasanya, sebagaimana yang diperintahkan oleh sang raja.
Keputusan Badui tersebut pastilah beralasan. Selain mengharap pahala dari Allah, Badui tersebut juga tahu betul manfaat puasa baik dari segi jasmani dan rohani.
Rasulullah bersabda, “Berpuasalah, maka kamu akan sehat.” Sabda Rasul ini memang terbukti secara medis bahwa orang yang membiasakan diri untuk berpuasa wajib
maupun sunnah memang jauh lebih sehat ketimbang orang yang selalu menyibukkan dirinya dengan mengisi perut. Bagaimana pun, organ tubuh kita perlu beristirahat. Maka
saat berpuasa itulah terjadi proses pembersihan pada organ-organ tubuh.
Rasulullah pun memberikan contoh teladan perihal puasa sunnah dari hadis yang diriwayatkan Aisyah RA, “Pada suatu hari, Nabi Saw masuk padaku dan bertanya: Apakah
ada makanan? Jawabku, “Tidak ada. Maka Nabi Saw bersabda, “Kalau begitu saya puasa hari ini.” (HR An-Nasa’i dan Al-Baihaqi).
Berbicara tentang puasa sunah, saat ini umat Islam telah memasuki musim haji dimana umat Muslim disunahkan untuk berpuasa Arafah, baik di sepuluh pertama atau hanya
pada saat hari Arafah. Puasa Arafah pun memiliki beberapa keutamaan.
Abu Hurairah RA berkata, Rasullullah Saw bersabda, “Tiada hari yang lebih disukai oleh Allah untuk beribadah pada-Nya seperti pada hari-hari sepuluh pertama Dzulhijjah.
Puasa di hari-hari itu sama dengan puasa setahun, dan bangun malamnya sama dengan bangun Lailatul Qadr.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
Hadit lain, yang diriwayatkan oleh Anas r.a, “Orang-orang yang puasa akan keluar dari kubur mereka di hari Qiyamat, dikenal dengan bau mulut mereka dengan harum
bagaikan kasturi. Dihantarkan pada mereka hidangan dan panic-panci yang masih tertutup mulutnya dengan kasturi, lalu dikatakan pada mereka, “Makanlah karena kamu
dahulu lapar ketika orang-orang kenyang, dan minumlah karena dahulu kamu haus ketika orang-orang puas. Dan istirahatlah kamu karena kamu lelah di waktu orang-orang
istirahat,” Maka mereka menikmati hidangan tersebut, sedangkan orang-orang sibuk dengan hisab.
Ibarat sekolah, tentu kita membutuhkan nilai-nilai ekstrakulikuler sebagai bentuk kelebihan yang kita miliki di hadapan guru. Begitupun dengan ibadah. Untuk memberatkan
timbangan di hadapan pengadilan Allah, Ibadah wajib saja tidak cukup. Maka, kita membutuhkan suplai dari ibadah nawafil (sunnah), ada baiknya kita tutup kekurangan ibadah
wajib dengan memperbanyak ibadah sunnah. Semoga Allah senantiasa memberikan kita kekuatan dan keikhlasan dalam beribadah, Amien.
Penulis adalah sahabat Republika Online
Sumber: Republika.co.id
Artikel Terkait
Posted by 06:16 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment