Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan
langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah
pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah
yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu,
mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga
istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban
dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban
istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah
bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat
berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ
لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ
لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para
wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya
hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no.
1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya
masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ
شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ
مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu
menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta
betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada
suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah
dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan
Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب
من حق الزوج
“Tidak ada hak yang lebih
wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya-
daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita
punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang
membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ
وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling
menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak
menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR.
An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat
dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke
tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya
dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ:
فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah
bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau
terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia
menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku
tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di
mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga
dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana
kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah
suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan
shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat
semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam
perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).”
(HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ
اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini
shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin
suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun
untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi
seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga
berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah
berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya,
serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى
فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak
istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan
melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ
يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي
السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada
di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya
lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk
langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim
no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita
enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur
karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih
Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan,
maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin
suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam
urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil
mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan
kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan
seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR.
Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ
وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ
شَطْرُه
“Tidak halal bagi seorang
isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.
Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya.
Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami
mendapat setengah pahalanya”. (HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا
وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita
mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada
melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib
Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada
orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya
membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin
suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan
untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ
وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang
wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan
izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita
berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian)
kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’
6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan
Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi
dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas
dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan
puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan
Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan
waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami.
… Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita
menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap
sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha.
Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan
seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak
berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah,
puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin
suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1)
puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin
kamis[1]), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya.
Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai
Ramadhan berikutnya.[2]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di
tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan
puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar,
sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul
Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami
tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk
jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi
suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan
masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama
daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami
adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari
menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa
tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya.
Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau
melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Dari Muslim.Or.Id'
Artikel Terkait
Posted by 22:29 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment